Audiotorial “Pilkades Minatur Demokrasi”

newsSebentar lagi pilkades di beberapa kecamatan bakal dihelat. Pendaftaran bagi bakal calon sudah mulai dibuka. Kabarnya ada yang animonya kelewat tinggi sampai-sampai pendaftarnya melebihi lima orang. Padahal, aturannya jumlah pendaftar dalam pilkades minimal 2 orang, maksimal 5 orang.

Barangkali karena mendaftar dalam pilkades dianggap hak setiap warga negara, panitia kabarnya tak kehilangan akal. Untuk pilkades yang bakal calonnya melampaui 5 pendaftar seleksi dimulai sejak pendaftaran. Seleksi yang kira-kira akan mirip dengan Uji Kelayakan dan Kepatutan itu kabarnya bakal dilakukan di tingkat kecamatan.

Begitulah, pilkades sepertinya bisa dibilang miniatur demokrasi. Dari sistem pemilihannya umpamanya, pilkades memberlakukan pemilu langsung jauh sebelum presiden dan wakil presiden dipilih langsung. Rakyat bisa memilih langsung pemimpin yang mereka suka. Tentu berdasarkan referensi yang mereka miliki. Hak demokrasi warga desa diberikan secara utuh, tidak diwakilkan.

Penghargaan terhadap hak warga negara juga tercermin dari keputusan melakukan pra seleksi tatkala yang mendaftar sebagai bakal calon kades melampaui lima orang. Kreatif dan gagasan seperti itu, mungkin belum ada payung hukumnya. Tetapi bisa diduga warga menerimanya lantaran gagasan semacam itu mengakomodasi hasrat dan hak demokrasi warga, yakni bahwa setiap warga desa yang memenuhi persyaratan berhak mencalonkan diri dan mengikuti pilkades.

Mungkin di sana sini terdapat kekurangan yang taruh misalnya ditandai dengan munculnya fenomena pebotoh atau petaruh. Tetapi kekurangan itu tidak bisa dijadikan alasan yang mengesampingkan dan mengingkari berlangsungnya proses demokrasi di tingkat paling bawah, yakni desa.

Tidak berhenti sampai di situ, pilkades juga mengenal bumbung kosong ketika calon kepala desa hanya seorang. Ini artinya warga desa yang merasa calon yang tampil tidak sesuai aspirasi masih punya alternatif yang namanya bumbung kosong. Justru ketika calon kades cuma seorang, bumbung kosong itu menjadi semacam momok yang menakutkan. Dianggap menakutkan lantaran ketika bumbung kosong yang tampil sebagai pemenang,  maka itu akan diartikan mengusik legitimasi calon terpilih.

Yang menarik , warga dan calon terpilih tetap saja lapang dada menerima hasil pilkades. Sementara warga  menunggu pilkades berikutnya kalau-kalau pilkades berikutnya itu memunculkan sosok yang jauh lebih sesuai dengan kriteria dan harapan mereka. Suksesi-pun berjalan damai dan lancar sepanjang warga tidak mendapati indikasi kecurangan.

Semua itu kiranya bisa disebut sebagai kearifan lokal. Kaum cerdik pandai menyebutnya local wisdom. Sistem yang sudah berjalan mungkin ratusan tahun itu terbukti efektif mengakomodasi hak demokrasi, bahkan hak perseorangan warga desa. Sementara di percaturan politik nasional, kita menyaksikan kegaduhan yang tidak sedikit orang melihatnya sebagai pertarungan kalah menang. Malah ada yang melihat kegaduhan politik nasional itu sebagai perwujudan dendam politik yang kalau dibiarkan negeri ini bisa saja mengulang sejarahnya tentang jatuh bangunnya pemerintahan. Akhirnya, kiranya tidak perlu malu atau segan belajar dari orang desa dengan kearifan lokalnya yang dengan kearifan lokal itu orang desa mungkin justru lebih beradab.

(Aga)

 

Comments are closed.