Ceritanya masih seputar dengar pendapat Komisi DPRD Jember dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Sekarang giliran Komisi A yang kabarnya dengar pendapat dengan Dinas Pekerjaan Umum Cipta Karya. Salah satu yang menjadi perhatian Komisi A adalah trotoar.
Pada kesempatan dengar pendapat itu, Dinas PU Cipta Karya menyampaikan, tidak kurang dari 6 kilometer trotoar yang penggarapannya masih berlangsung harus “dibongkar”. Alasannya, berdasarkan temuan Dinas PU Cipta Karya yang ditindaklanjuti Sidak wakil rakyat, trotoar itu tidak sesuai spesifikasi yang sudah ditetapkan. Untungnya pelaksana proyek menyanggupi perbaikan proyek yang katanya senilai Rp 3,5 miliar itu.
Publik tentu senang mendengar kabar itu. Publik akan berpikiran baik eksekutif maupun legislatif sama-sama melakukan tugas pengawasan dengan baik. Buktinya Dinas PU Cipta Karya mendapati proyek salah Bestek lalu minta pelaksananya memperbaikinya. Legislatif juga begitu, segera setelah mendengar ada proyek salah Bestek langsung melakukan Sidak, inspeksi mendadak.
Pengawasan oleh legislatif memang bukan pengawasan teknis. Pengawasan legislatif adalah pengawasan terhadap kebijakan, yang dengan pengawasan itu legislatif bisa mengetahui apakah kebijakan tersebut dilaksanakan dengan baik. Sedang pengawasan yang dilakukan eksekutif adalah pengawasan teknis hingga menyangkut bestek sebuah proyek.
Begitulah, untuk sementara pengawasan terlihat efektif. Kedua lembaga, eksekutif dan legislatif, sama-sama melakukannya. Yang diawasi tentu bukan cuma kebijakan dan proyek besar. Kebijakan dan proyek berskala kecil juga perlu pengawasan. Apalagi kebijakan dan proyek itu menyangkut kepentingan orang banyak.
Trotoar kelihatannya sepele. Tetapi fasilitas yang sejatinya diperuntukkan bagi pejalan kaki itu punya arti penting. Secara estetika trotoar bisa jadi etalase kota. Trotoar, dalam beberapa hal bisa menciptakan kesan pertama bagi pelancong. Secara konstruksi, trotoar tidak boleh mengabaikan hak yang melekat pada pejalan kaki, termasuk hak warga difabel. Trotoar yang konstruksinya naik turun akan menyulitkan warga difabel. Dari sisi peruntukan, trotoar juga mesti dijaga dari penggunaan yang mengusik pejalan kaki. Pendek kata, trotoar yang kelihatannya sepele itu sejatinya adalah wajah kota sekaligus pemenuhan akan hak masyarakat.
Lebih dari semua itu, yang penting adalah maksimalisasi fungsi pengawasan oleh legislatif maupun eksekutif. Syukur kalau kedua lembaga ini konsisten dalam menjalankan fungsi pengawasan, tidak masuk angin, atau lebih jauh justru bersekongkol, hanky panky atau berselingkuh agar sama-sama mendapat fee proyek.
(Aga)