Sepertinya tidak ada Raperda yang sedemikian kontroversialnya seperti Raperda RTRW. Pembahasannya berlangsung alot dan berkepanjangan. Tak kunjung rampung hingga wakil rakyat periode 2009-2014 digantikan anggota dewan hasil pemilu 2014. Tarik ulur mengesankan eksekutif bersikeras agar potensi tambang bisa dieksploitasi untuk keperluan ekonomi. Sementara DPRD dan elemen masyarakat gamang, usaha tambang hanya akan mewariskan kerusakan. Selain itu, usaha dan eksploitasi tambang dilihat tidak sejalan dengan Rencana Tata Ruang dan Wilayah Nasional yang memproyeksikan Jember, karena watak agrarisnya, maka pengembangannya mesti diarahkan pada agroindustri dan agribisnis.
Alhasil, pembahasan Raperda RTRW memperlihatkan tanda-tanda dicapainya kesepakatan setelah melewati mekanisme voting. Kabarnya, opsinya ada tiga dan yang memenangi suara terbanyak adalah opsi bahwa potensi tambang hanya boleh dieksplorasi untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan. Dengan demikian, tertutup sudah peluang mengeksploitasi tambang untuk kepentingan ekonomi. Sekarang proses pembahaan Raperda RTRW tinggal membawa ke forum paripurna.
Kalau melulu dilihat dari proses dan perjalanannya yang alot dan berkepanjangan akan terlihat baik eksekutif maupun legislatif tidak mengindahkan arti strategis Perda RTRW. Keduanya juga terkesan mengabaikan efisiensi, menguras tenaga dan lebih dari itu, terkesan melakukan pembiaran Kabupaten Jember tidak kunjung memiliki perda yang menjadi rujukan utama setiap kebijakan.
Tetapi di tilik dari sisi lain, proses panjang itu harus dilihat sebagai usaha keras wakil rakyat menjalankan fungsi legislasi sebaik-baiknya. Secara tidak langsung, dewan juga memperlihatkan itikadnya mendengar suara rakyat yang mengkhawatirkan dan mencemaskan eksploitasi tambang. Dewan, pada waktu yang sama juga bisa dibilang menunjukkan usaha kerasnya menjalankan fungsi pengawasan yang diarahkan pada ikhtiar preventif atau pencegahan.
Maka harapannya adalah, sebuah penghargaan yang diperlihatkan oleh sikap menerima hasil keputusan dewan. Tentu saja maksudnya adalah penghargaan dan sikap eksekutif menerima keputusan dewan yang menyangkut perda RTRW.
Kalau tidak, kejadiannya akan terulang. Raperda RTRW akan terkatung-katung. Jember kembali tidak memiliki perda RTRW yang siapapun melihatnya sebagai cetak biru yang menjadi sumber rujukan setiap kebijakan. Kalau Jember tidak memiliki perda RTRW, maka kebijakan pembangunan akan tidak memiliki arah. Kebijakan dirumuskan sekehendak dan semau-mau pemangku kepentingan.
Kalau tambang diyakini bisa memberikan kontribusi besar bagi kas daerah, maka, setidaknya untuk sementara ini, harus tumbuh pula keyakinan, tanpa tambang pertumbuhan ekonomi Jember bisa mencapai 7,2 persen, melampaui pertumbuhan ekonomi provinsi bahkan nasional. Sekarang tinggal bagaimana pertumbuhan ekonomi yang 7,2 persen itu menetes ke bawah lalu rakyat di lapis bisa ikut menikmatinya.
(Aga)