Sebentar lagi ganti tahun. Seperti sudah menjadi tradisi, pergantian tahun disambut dengan gegap gempita. Tetapi ada juga yang mencoba berkontemplasi, merenung disertai evaluasi tentang apa yang sudah dan belum dilakukan, juga tentang apa yang kurang dan harus diperbaiki di tahun mendatang.
Secara sosiologis dan psikologis, hangar-bingar tahun baru kira-kira dilihat sebagai momentum relaksasi. Relaksasi dari kepenatan akibat kerja keras yang dijalani setahun sebelumnya. Manusia memang membutuhkan ruang relaksasi.
Tetapi akan menjadi masalah ketika relaksasi itu tidak disertai perenungan. Perenungan yang bermuara pada kristalisasi makna hidup. Akan menjadi masalah ketika ruang relaksasi itu diisi oleh hanya hangar-bingar pesta yang memicu munculnya hedonisme. Kepekaan sosial menjadi luntur, empati menipis, dan ujung-ujungnya kepedulian terhadap sesama terkikis. Manusia lantas berubah menjadi apa yang digambarkan Thomas Hobes yang dikutipnya dari Plautus: homo homini lupus, manusia yang satu menjadi serigala bagi manusia yang lain, manusia yang satu memangsa manusia yang lain.
Begitulah, jika tradisi menyambut tahun baru tidak bisa dicerabut, maka tradisi itu mesti diarahkan pada perenungan dan ikhtiar memelihara dan menjaga marwah manusia sebagai mahluk sosial. Seperti Thomas Hobes mengutip dari Seneca, manusia adalah homo homini socius, manusia adalah teman bagi sesama manusia, atau manusia adalah sesuatu yang sakral bagi sesama.
Jika tradisi menyambut tahun baru tidak bisa dicerabut, maka tradisi itu hendaknya diarahkan relaksasi batiniah. Bukan pesta yang keesokan harinya pasukan kuning, pasukan kebersihan, harus kerja keras memunguti sampah. Bukan pula hingar-bingar yang menjebak manusia pada pelarian semu. Eskapisme kata orang pintar. Pelarian semu yang ketika manusia tersadar kembali dari ekstasinya, persoalan berikutnya datang menghadang tetapi tidak disertai kemampuan menghadapinya.
(Aga)