Soal Raperda RTRW sepertinya masih harus menempuh perjalanan panjang. Hari ini Bupati MZA Djalal menggelar jumpa pers menerangkan ihwal ketidakhadirannya pada sidang paripurna. Pada saat yang sama, dewan menggelar rapat paripurna penetapan Raperda RTRW dan Raperda Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP). Entah bagaimana kelanjutannya, karena hingga audiotorial ini ditulis, rapat paripurna masih berlangsung. Kabarnya rapat diwarnai hujan interupsi. Kabarnya juga, cukup banyak SKPD di jajaran Pemkab Jember yang tidak hadir pada rapat paripurna itu.
Bupati MZA Djalal dalam penjelasannya mengungkapkan kekhawatirannya perda yang sudah ditetapkan dewan bakal dibatalkan oleh Gubernur. Kekhawatiran itu didasari mekanisme penyusunan hingga pengesahan perda RTRW yang selain harus dikonsultasikan dan dievalauasi oleh pemerintah provinsi, juga harus dikonsultasikan dan dievaluasi oleh pemerintah pusat. Raperda Kabupaten Jember, kata Pak Djalal, dalam posisi sedang dikonsultasikan ke Gubernur, dan sejauh ini belum ada jawaban.
Karena yang dikonsultasikan ke gubernur adalah Raperda RTRW yang mengalami tambal sulam, maka yang paling mungkin jika ingin persoalan RTRW beres menurut Pak Djalal adalah melanjutkan bahasan yang sudah tuntas atau memulai lagi dari awal.
Begitulah, penjelasan sangat diperlukan untuk memperjelas persoalan. Penjelasan juga diperlukan karena informasi apapun yang menyangkut kepentingan publik, masyarakat luas berhak mengetahuinya.
Meski demikian, publik tentu masih bertanya-tanya, mengapa dewan tetap menyelenggarakan rapat paripurna. Publik kira-kira akan sulit mempercayai dewan tidak paham tentang mekanisme dan tata urut penyusunan hingga pengesahan Perda RTRW seperti yang dikemukakan Bupati.
Kalau sama-sama paham, maka pertanyaan publik berikutnya adalah mengapa kedua pihak, eksekutif dan legislatif, tidak mengintensifkan komunikasi dan koordinasi. Sekarang publik bahkan bisa diduga berpikiran kedua lembaga itu sedang dalam posisi saling berhadapan. Kedua lembaga itu, eksekutif dan legislatif sedang adu kedigdayaan.
Sekarang pernak-pernik yang menghiasi Raperda RTRW Kabupaten Jember makin komplit. Dulu ada yang mendapati sebagian isinya hasil copy paste alias salin tempel Raperda RTRW milik kabupaten lain. Setelah itu, disusul dengan perdebatan isinya yang dianggap menyalahi RTRW provinsi dan nasional dengan dimasukkannya peta potensi tambang ke dalam raperda itu.
Selain itu, Badan Konservasi Daya Alam (BKSDA) Bidang III Jawa Timur di Jember kabarnya juga pernah melayangkan surat tentang pemetaan dalam Raperda RTRW yang mengarah pada pengembangan kawasan konservasi menjadi kawasan wisata dan hunian. Padahal, sesuai Undang-Undang, kawasan konservasi tidak diperbolehkan berubah fungsi.
Akhirnya, semua pasti menghendaki Raperda RTRW bisa dirampungkan. Tetapi beres tidaknya raperda itu bergantung pada kehendak, niat, itikad dan kesediaan para pemangku kepentingan untuk duduk bersama, berembung mencari titik moderasi, titik temu. Dan syaratnya, masing-masing harus lebih dulu menanggalkan egonya lalu berpikir pada kepentingan yang lebih besar bahwa RTRW adalah penataan ruang yang berkelanjutan demi peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia yang tinggal dan melangsungkan kehidupan di ruang yang namanya Kabupaten Jember.
(Aga)