Audiotorial “Dana Bansos”

LOGO newsSetelah menunggu dalam ketidakpastian, dana bansos dan dana hibah akhirnya bisa dicairkan, menyusul kunjungan pimpinan DPRD Jember ke Kementerian Dalam Negeri pekan lalu. Wakil Ketua DPRD Jember, Pak Ayub Junaidi menjelaskan, dalam konsultasi dengan Kementerian Dalam Negeri, pimpinan DPRD Jember mendapat penjelasan dana hibah dan dan dana bansos yang sudah ditetapkan APBD 2015 bisa dieksekusi, penerimanya tidak harus berbadan hukum.

Penyaluran dan pencairan dana bansos sempat mandeg menyusul surat edaran Menteri Dalam Negeri yang mensyaratkan penerima dana bansos atau dana hibah harus berbadan hukum. Untuk beberapa saat, pokmas tentu tidak bisa melakukan kegiatan meski garapan sudah direncanakan jauh hari sebelumnya.

Bahwa penerima dana hibah harus berbadan hukum, kira-kira saja bertujuan   untuk meningkatkan akuntabilitas penyaluran dan pemanfaatan dana hibah. Maksudnya, penyaluran dan penggunaan dana hibah harus bisa dipertanggunggugatkan.

Dana hibah atau dan dana bansos adalah uang negara. Karena itu, pengelolaannya juga mesti transparan dan akuntabel. Penyalurannya tidak bisa  serampangan yang dengan keserampangan itu lalu membuka peluang terjadinya manipulasi, taruh misalnya penerimanya fiktif atau abal-abal. Juga bisa jadi, keharusan penerima dana hibah berbadan hukum dimaksudkan agar penyaluran dana hibah tepat sasaran dan obyektif, bukan atas dasar koncoisme dan kroniisme atau kedekatan politik.

Beberapa kasus memperlihatkan dana bansos dijadikan pintu masuk paling empuk bagi pihak-pihak yang punya niat korupsi. Juga tidak sedikit kasus yang memperlihatkan dijadikannya dana bansos sebagai pintuk masuk politisasi anggaran atau malah pengamanan bagi berlangsungnya korupsi. Kasus paling mutakhir adalah dugaan penyimpangan dana bansos oleh Gubernur Sumatera Utara. Beberapa pihak diduga menikmati dana bansos tersebut termasuk media dan awak media.

Begitulah, hingga di sini menjadi jelas, kebijakan yang mengharuskan  penerima dana bansos berbadan hukum sepertinya merupakan salah satu ikhtiar meningkatkan keterbukaan dan akuntabilitas pengelolaan dana bansos sekaligus menghindari politisasi anggaran.

Kalau benar demikian, maka kebijakan semacam itu mesti diapresiasi. Hanya saja, upaya itu akan semakin komplit jika disertai pengawasan internal maupun eksternal. Yang tidak kalah pentingnya adalah bahwa kebijakan itu tidak menutup sama sekali peluang kelompok masyarakat berskala kecil. Ada yang bilang pokmas berskala kecil  biasanya menerima kucuran dana bansos yang nilainya Rp 1 juta hingga Rp 5 juta. Kalau mereka harus berbadan hukum, maka dana bansos itu akan habis hanya untuk ongkos pengurusan badan hukum. Atau, kalau harus mengurus badan hukum lebih dahulu, bisa dipastikan pokmas berskala kecil taruh saja panitia pembangunan surau, selain tidak sanggup, bisa-bisa ongkos untuk mengurus badan hukum jauh lebih besar ketimbang dana bansos yang bakal mereka terima. (Aga)

 

 

 

 

 

 

Comments are closed.