Ada kabar pupuk jenis ZA kembali langka. Beberapa petani mengaku pupuk tersebut bahkan sulit didapat sejak Desember 2015. Padahal, saat ini sedang memasuki masa pemupukan. Dinas Pertanian memberikan penjelasan, dari tahun ke tahun usulan kuota yang dilayangkan ke Pemerintah Pusat tidak terpenuhi, sehingga setiap tahun selalu terjadi kelangkaan.
Begitulah, kelangkaan pupuk pada masa-masa tertentu sepertinya sudah biasa. Lalu dianggap wajar, karena sudah merupakan kejadian rutin. Sudah menjadi gejala. Petani mungkin juga sudah sejak lama putar otak untuk mengakalinya. Atau, dengan terpaksa merogoh kocek lebih banyak karena mau tidak mau, suka tidak suka, harus membeli pupuk non subsidi.
Polisi juga sudah beberapa kali merazia dan memperkarakan pelaku yang diduga menyelewengkan pupuk bersubsidi. Sekarang malah kalau tidak keliru prosesnya sudah ke tahap penyidikan.
Jadi, sudah cukup banyak cara yang ditempuh. Tetapi, kelangkaan pupuk masih saja terjadi. Karena itu, sepertinya ikhtiar melepas ketergantungan petani pada pupuk menjadi sangat penting dan strategis.
Kita sudah disuguhi berita tentang teknologi mobil pemantau cuaca dan derajat keasaman tanah oleh Politeknik Negeri Jember. Tentu kalau untuk urusan meneliti dan mengembangkan pupuk aternatif Perguruan Tinggi itu bisa melakukannya. Di Jember juga ada Fakultas Pertanian yang juga pasti bisa melakukan penelitian sejenis, termasuk barangkali meninjau kembali pola tanam.
Sektor pertanian adalah sektor stretegis. Sektor ini bahkan bisa meningkatkan posisi tawar dalam pergaulan dan perdagangan internasional. Lagi pula aneh, lucu dan ironis kalau negeri ini disebut negeri agraris tetapi produk pertanian yang sangat vital, seperti beras, masih impor. Aneh, lucu dan ironis, mengetahui bahwa harga beras Indonesia ternyata paling mahal di negara-negara ASEAN, bahkan dibanding Myanmar yang katanya negara kecil. Padahal, sekarang MEA sudah berlaku efektif.
Akhirnya, bisa jadi Indonesia bukan cuma impor beras, bawang dan kedelai, pupuk pun kita juga impor. Maka, alih-alih bersaing, negeri yang katanya bagai tanah surga ini justru menjadi negara dan bangsa berketergantungan. (Aga)