Audiotorial “Rupiah dan Nasionalisme”

ILUSTRASI - UANG

Ilustrasi

Bank Indonesia mengintensifkan sosialisasi penggunaan mata uang rupiah dalam transaksi keuangan. Sebab, ada indikasi masih terdapat transaksi yang menggunakan mata uang asing. Bank Indonesia juga bakal bertindak lebih tegas terhadap pelaku usaha yang bertransaksi menggunakan mata uang asing. Sanksi awal berupa teguran tertulis dan membayar biaya sebesar 1 persen dari nilai transaksi.

Harus diakui, sudah sejak lama uang bukan lagi sekadar alat tukar. Lebih dari itu, uang sudah menjadi komoditi. Tetapi harus diakui pula, ketika sebuah negara berinteraksi dan terintegrasi dengan masyarakat internasional, tawar-menawarnya sudah meliputi penggunaan mata uang yang digunakan dalam transaksi perdagangan. Posisi tawar negara yang satu bisa saja lemah di hadapan negara yang lain, bergantung pada sejauh dan sedalam apa ketergantungan negara itu terhadap produk-produk yang diperdagangkan.

Penggunaan mata uang asing, secara ekonomi berpengaruh terhadap kondisi ekonomi sebuah negara. Setidaknya dari aspek selisih nilai tukar. Orang pintar menyebutnya “term of trade”. Bayangkan, kalau suatu hari sebuah negara bertransaksi dengan nilai tertentu dengan menggunakan mata uang asing, lalu di saat yang lain nilai tukar mata uang itu ternyata mengalami kenaikan. Nilai yang mereka bayar tentu semakin besar. Krisis ekonomi 97 adalah contoh paling sederhana ketika rupiah dihajar hingga menembus angka Rp 16 ribu lebih per Dolar Amerika.

Dalam perspektif lain, diyakini kecintaan dan penggunaan mata uang rupiah ikut menentukan dan mempengaruhi posisi tawar Indonesia. Kalau benar keyakinannya seperti itu, maka membangkitkan nasionalisme sepertinya merupakan salah satu langkah yang tidak bisa ditawar-tawar untuk ditempuh. Kebiasaan warga negara menggunakan mata uang asing akan menjadi penyebab kebutuhan mata uang asing meningkat. Seperti hukum pasar, ketika permintaan naik, harga juga akan ikut naik. Ini artinya selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan semakin besar. Singkatnya, nilai tukar rupiah makin lemah.

Akhirnya, kata kuncinya adalah menjawab bagaimana membangun nasionalisme secara efektif. Kalau elitnya masih suka plesiran dan belanja ke luar negeri dengan berbekal dan menggunakan mata uang asing, kampanye nasionalisme penggunaan rupiah akan diragukan efektivitasnya. Dan di negeri ini bukan cuma plesiran ke luar negeri yang menggunakan mata uang asing, seperti yang terlihat dalam beberapa kali operasi tangkap tangan KPK, untuk menyuap penguasapun menggunakan mata uang asing. (Aga)

Comments are closed.