Petani tebu di Silo mengeluhkan retribusi jalan Rp 300 ribu,- per hektar. Retribusi itu dianggap memberatkan. Tarikan retibusi kabarnya sudah berlangsung sejak 2010. Tarifnya Rp 5 ribu,- setiap kali truk angkutan tebu lewat jalan desa. Tetapi tarif itu kemudian berubah menjadi Rp 300 ribu,- per hektar. Sebelum terjadi kesepakatan malah katanya terjadi penghadangan terhadap truk petani tebu agar membayar retribusi Rp 700 ribu,- per hektar.
Kalau tidak keliru setiap pungutan retribusi ada aturannya. Pemerintah desa juga punya peluang untuk menarik retribusi. Tetapi aturan tersebut juga membatasi bahwa desa tidak diperbolehkan memungut retribusi sejenis yang sudah dipungut pemerintah di atasnya. Begitu pula sebaliknya. Pendek kata, memungut retribusi harus ada aturannya.
Karena itu, kalau desa menganggap hasil panen tebu patut dipungut retribusi, maka kebijakan itu harus disertai aturan yang jelas. Tentu saja aturan itu tidak boleh bertentangan dengan aturan yang lebih tinggi.
Begitulah, budi daya tebu berkaitan dengan kebijakan pemerintah yang pasang target pada tahun tertentu negeri ini sampai pada tahap swasembada gula. Kalau retribusi itu dirasa memberatkan, berlaku dalam skala lebih luas dan dianggap tidak memiliki dasar yang jelas, atau kalau ada aturannya tetapi menyalahi aturan yang lebih tanggi, bisa saja target menuju swasembada gula terusik. Apalagi kalau cara retribusi itu ditarik dengan cara yang mengarah pada intimidasi.
Akhirnya, pemerintah desa sebaiknya mempertimbangkan membuat dan menerbitkan aturan. Untuk membuat aturan itu, pemdes bisa berkonsultasi dengan pemkab. Sebab, berdasarkan ketentuan, desa berpeluang menggali sumber pendapatan, termasuk memungut retribusi.
Kalau aturan sudah dibuat, tinggal pengelolaannya yang juga harus transparan. Pemungutnya mesti petugas resmi. Dan, tidak ada penghadangan beramai-ramai oleh warga, apalagi yang mengarah pada intimidasi. (Aga)