Audiotorial “Perda dan Perbup”

Bupati Faida minta Perda yang belum ada Perbupnya tidak perlu dipolemikkan. Katanya, tanpa Peraturan Bupati-pun Perda bisa dilaksanakan jika masyarakat menghendakinya. Perbup menurut Bupati Faida hanya untuk mempercepat pelaksanaan. Perda Disabiltas adalah contohnya, meski belum ada Perbup-nya, beberapa lembaga sudah melaksanakannya.

Sejatinya ini bukan soal sebuah Perda bisa dilaksanakan dengan atau tanpa Perbup. Ini adalah soal respon. Ini soal kepedulian. Kepedulian mendorong penentu kebijakan merespon dengan cepat setiap kebijakan agar pelaksanaannya tidak menimbulkan penafsiran beragam. Di samping itu, yang lebih penting lagi, adalah soal kepastian. Kepastian bahwa Perda itu bisa dilaksanakan genap dengan aturan yang lebih teknis dan operasional.

Lagi pula, kalau Perda tidak harus disertai Perbup, mestinya tidak perlu susah-susah membuat Perbup. Karena itu, 18 Perda baru mestinya tidak perlu dibuatkan Perbup. Nyatanya, dari 18 Perda baru itu, 7 di antaranya ada Perbupnya.

Begitulah, soal Perda dan Perbup adalah soal “tegak lurus”; soal 3B: Baik Tujuannya, Benar Hukumnya, Betul Caranya. Tegak lurus berarti tidak serampangan. Seluruh asas umum pemerintahan yang baik mesti diimplementasikan, kecuali keadaan darurat yang memerlukan keputusan diskresi.

Kalau gerakan peduli terhadap kelompok disabilitas dijadikan contoh, rasanya sejak dulu, jauh sebelum Perda dibuat, lembaga atau komunitas melakukan kegiatan swadaya sebagai wujud kepedulian terhadap warga berketerbatasan.

Sekali lagi, Soal Perda dan Perbup adalah soal kepedulian, soal respon, soal tegak lurus, soal 3B dan soal pelaksanaan asas-asas umum pemerintahan yang baik. (Aga)

 

 

 

 

 

 

 

 

Comments are closed.