Ada kemungkinan DPRD Jember menyikapi 3 kali ketidakhadiran eksekutif dalam rapat yang diinisiasi dewan. Wakil Ketua DPRD Jember, pak Ayub Junaidi, mengatakan, sebelum menentukan sikap DPRD akan rapat besar lebih dulu. Bisa jadi hasilnya nanti dewan memilih menggunakan hak yang melekat pada legislatif seperti hak interpelasi dan hak angket. Bisa jadi pula, dewan menjatuhkan pilihan melapor ke gubernur.
Entah sampai kapan situasi seperti ini berlangsung. Dulu DPRD juga pernah menggunakan hak interpelasi. Dulu Pemkab Jember juga pernah mendapat teguran gubernur. Malah kalau tidak keliru ada dua Surat Peringatan. Semuanya menyangkut penyelenggaraan dan tata laksana pemerintahan.
Hubungan eksekutif-legislatif bukannya membaik. Sebaliknya malah cenderung menuju disharmoni. Padahal, dalam undang-undang disebutkan bahwa yang namanya Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh Pemerintah Daerah dan DPRD. Dengan begitu, disharmoni kedua lembaga itu bisa dipastikan mengusik urusan penyelenggaraan pemerintahan. Sedang penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah pasti menyangkut kepentingan dan hajat hidup orang banyak.
Tengok misalnya proses pembuatan APBD, pembahasan hingga pengesahannya melibatkan eksekutif dan legislatif. Begitu pula proses pembuatan Peraturan Daerah, pembahasan dan pengesahannya juga melibatkan Pemerintah Daerah dan DPRD.
Jadi, masyarakat kira-kira heran, kedua lembaga yang mengurusi hajat orang banyak itu tidak membangun hubungan saling menghormati dan menghargai. Komisi A DPRD Jember kabarnya sudah tiga kali mengundang pejabat di jajaran eksekutif. Tetapi tiga kali pula undangan itu katanya tidak dihadiri tanpa alasan dan pemberitahuan. Padahal agendanya bisa dibilang penting, yakni soal KTP, soal dokumen kependudukan, soal yang semua penduduk berkepentingan. (Aga)