Seluruh Guru Tidak Tetap (GTT) SD dan SMP terancam tidak terima honor. Ketentuan mengharuskan GTT punya SK Penugasan yang diterbitkan Pemerintah Kabupaten. Lalu atas dasar SK tersebut GTT bisa terima honor yang sumbernya dari BOS.
Ketua PGRI Jember, pak Supriyono, menuturkan, pihaknya sudah 3 kali melayangkan surat ke Bupati untuk bisa audiensi membahas nasib GTT. Tetapi sejauh ini, kata pak Supriyono, belum ada respon dari Bupati. Pak Supriyono lantas menunjuk beberapa daerah seperti Kabupaten Lumajang, Probolinggo dan Kota Batu, yang menurutnya begitu responsif. Kabupaten/Kota tersebut segera menerbitkan SK Penugasan begitu Permendikbud Nomor 26 Tahun 2017 terbit.
Bisa saja karena sibuk lantaran banyak agenda yang harus dituntaskan, Bupati belum sempat merespon keinginan PGRI. Atau bisa jadi pula, sesungguhnya Bupati sudah mendelegasikan urusan GTT kepada Dinas Pendidikan lantas sekarang sedang dalam proses. Karena itu, ada baiknya PGRI membuka komunikasi dan koordinasi dengan Dinas Pendidikan.
Konon jumlah GTT nyaris sama dengan jumlah guru PNS. Andai jumlah keduanya ideal dalam hal rasio guru murid, maka keberadaan GTT sangat penting dan strategis dalam Kegiatan Belajar Mengajar (KBM). Lalu, andai mereka berhenti mengajar karena tidak terima honor, rasio guru-murid dalam KBM menjadi timpang. Kalau Rasio guru-murid timpang, maka KBM terganggu. Sekarang saja kabarnya distribusi guru tidak merata. Ada sekolah dengan ratusan murid tetapi gurunya tidak lebih dari 5 orang. Di tempat lain justru sebaliknya, terdapat sekolah yang kabarnya surplus guru PNS.
Kalau benar seperti itu, maka situasinya sudah serius, oleh karena itu butuh perhatian serius pula. Isu pendidikan adalah isu serius. Belum ada pemerintahan yang tidak menempatkan pendidikan sebagai prioritas program. Tengok saja alokasi anggaran pendidikan yang sampai diundangkan. Siapapun penguasanya, oleh undang-undang diamanati agar mengalokasikan 20 persen anggaran pendidikan dari total APBN. Lebih dari itu, GTT dan PTT adalah pihak yang patut mendapat perhatian. Mereka sudah memperlihatkan dedikasinya di dunia pendidikan. Kendari honornya di bawah UMK, mereka tetap saja mendedikasikan diri untuk dunia pendidikan, untuk generasi penerus bangsa.
Akhirnya, semua pihak, terutama yang punya otoritas politik maupun ketatanegaraan, hendaknya mendorong agar persoalan yang dihadapi GTT bisa segera disikapi. Apa lagi dalam tempo terlalu lama siswa-siswi SD dan SMP akan menjalani Unas. GTT adalah guru, bedanya dengan guru PNS hanya terletak pada status kepegawaian. Sedang tugas yang dijalankan GTT sama persis dengan guru PNS, mengajar dan mendidik anak bangsa. (Aga)