Sepertinya tidak ada jalan lain yang bisa ditempuh kecuali menjual Jember United, menyusul belum cairnya dana hibah. Kabar terakhir katanya sudah ada yang menawar Rp 1,5 miliar. Kata Manajer Jember United, pak Sirajudin, ada 7 pihak yang menawar Jember United. Tetapi nilai penawaran belum sesuai harapan manajemen.
Jember United memang tidak bisa diposisikan seperti layaknya unit profit semacam BUMD yang memberikan manfaat ekonomi kepada kas daerah. Jember United lebih merupakan aset yang memberikan manfaat sosial misalnya rasa bangga atau simbol perekat sosial kendati yang paling merasakan adalah pendukung fanatiknya. Pada tingkat tertentu, dengan prestasinya yang terus menerus meningkat, Jember United bahkan bisa tampil sebagai simbol daerah. Jadi, bisa-bisa Jember United justru merupakan aset warga yang tidak ternilai. Syukur ketika laku dijual nanti segenap atribut dan simbolnya tidak berubah sehingga Jember United masih bisa diharapkan sebagai simbol kebanggaan masyarakat dan daerah. Konon bebeberapa pemainnya lolos dalam seleksi dan sempat memperkuat tim nasional.
Kondisi Jember United yang untuk mempertahankannya harus menyiapkan opsi dijual juga berpotensi dilihat sebagai cermin perlakuan dan pembinaan terhadap olah raga. Bayangkan kalau situasinya merembet ke seluruh cabang olah raga, bisa jadi gairah dan dorongan berprestasi di bidang olahraga pemuda mengendor. Orang kemudian bertanya, lantas untuk apa fasilitas olahraga JSG dibangun.
Taruh misalnya soal pencairan dana Hibah untuk pembinaan olah raga urusannya lebih mengarah pada mekanisme dan sistem, maka yang harus segera diperbaiki mestinya sistem dan mekanismenya. Bukan membiarkan dan menelantarkannya hingga tak jelas juntrungnya.
Sekali lagi, prestasi di bidang olahraga, memang benar, tidak bisa diposisikan seperti layaknya unit profit yang memberikan kontribusi ekonomi ke kas daerah. Prestasi adalah aset tak berwujud. Tetapi manfaat sosialnya bisa sangat tidak ternilai. Sebab, dia bisa menjadi simbol perekat sosial, simbol kegigihan untuk terus menerus meraih dan menorehkan prestasi.
Akhirnya, tanpa prestasi, di bidang apapun, khawatirnya ketika orang luar bilang Jember yang diingat dan dijadikan simbol adalah SILPA-nya yang spektakular, pembahasan APBD-nya yang ruwet dan ribet, GTT-PTT-nya yang tak kunjung punya surat tugas atau Jember adalah kota PLT, karena banyak pejabatnya yang berstatus Pelaksana Tugas. (Aga)