Audiotorial “Perjuangan GTT dan PTT”

Unjukrasa GTT-PTT Senin pagi.

Hari ini  ribuan Guru Tidak Tetap (GTT) dan Pegawai Tidak Tetap (PTT) berunjukrasa. Mereka menuntut kejelasan dan kepastian status serta pencairan honor. Unjuk rasa berjalan lancar karena dikawal tidak kurang dari 450 personil Polres Jember. Demi ketertiban dan tersalurkannya aspirasi, Kapolres Jember Pak Kusworo Wibowo bahkan ikut mengawal kegiatan itu. Apresiasi bahkan doa kebaikan dipanjatkan GTT dan PTT untuk Kapolres yang oleh GTT dan PTT dianggap telah memfasilitasi mereka sehingga mereka bisa bertatap muka dengan Bupati Faida.

Kalau boleh menduga, Pak Kapolres kira-kira berpikiran, kanal aspirasi tidak boleh tertutup dan ditutup. Kanal-kanal itu merupakan katup pengaman. Savety valve kata kata orang pintar. Kanal yang tertutup dan tersumbat, pada titik tertentu, bisa jebol ketika yang mengalir di dalamnya melampaui kapasitasnya. Aliran aspirasi bergerak liar tak terkendali ke arah yang sulit diduga. Bentuknya juga sangat mungkin berubah dari aspirasi yang tadinya sekadar menyampaikan kehendak dan keinginan menjadi kekacauan. Kekacauan tidak harus berwujud huru-hara. Tetapi, bisa dibayangkan jika ribuan GTT dan PTT mogok bekerja. Kegiatan Belajar Mengajar bisa dipastikan terusik dan kacau.

Begitu memang seharusnya. Seorang pemimpin idealnya memiliki apa yang orang pintar menyebutnya sense of crisis, kepekaan. Seorang pemimpin idealnya responsif, tanggap terhadap persoalan dan kebutuhan warganya. Jika semua itu dipunyai seorang pemimpin, dia adalah pemimpin yang berkepimpinan. Pada saat yang sama pemimpin yang berkemimpinan sejatinya telah menerapkan manajemen mitigasi. Mitigasi yang bertujuan mencegah munculnya kekacauan dan menekan hingga titik terendah resiko yang ditimbulkan oleh reaksi sosial terhadap persoalan yang penyelesaiannya tak jelas juntrungnya.

GTT dan PTT sudah cukup lama menyuarakan aspirasi mereka, tetapi kanal sepertinya tak tersedia atau tersumbat. Ketika sampai puncak, karena persoalannya menyangkut perut dan harkat, ribuan GTT dan PTT turun jalan. Begitu pula dengan pengurusan adminduk, cukup lama pula warga menyuarakan keluhan mulai dari  soal antrean  panjang dan berhari-hari hingga soal pungutan. Soal sulitnya mengurus adminduk ini, Asosiasi Kepala Desa bahkan ikut menyuarakan kesulitan warga dan mengancam turun jalan jika tak segera disikapi penentu kebijakan . Sejauh itu pula aspirasi itu terkesan seperti angin lalu hingga akhirnya terjadi Operasi Tangkap Tangan (OTT).

Soal 70 SD yang katanya belum punya kepala sekolah definitif setali tiga uang. Maksudnya sama saja. Konon persoalannya sudah cukup lama, tetapi sejauh ini belum ada kebijakan untuk menuntaskannya. Tidak terlihat di sana ada penerapan manajemen mitigasi yang bertujuan  misalnya menghindari munculnya persoalan ketika UNAS gegara sekolah itu belum punya Kepala Sekolah definitif. Itu baru di sektor pendidikan, jika di sektor atau bidang lain perlakuannya sama, maka munculnya persoalan besar sepertinya hanya tinggal tunggu waktu. (Aga)

 

 

 

Comments are closed.