Seorang pemuda babak belur dan harus menjalin perawatan setelah dihajar massa. Pemuda berusia 22 tahun itu dihajar ramai-ramai bukan lantaran dia begal sadis, melainkan karena tertangkap basah mencuri singkong di lahan milik warga Nogosari Rambipuji. Singkong yang dicuri mungkin lumayan banyak, karena saat tertangkap basah melakukan perbuatannya pemuda tadi memasukkan singkong yang dicurinya ke dalam karung.
Begitulah, bahwa pemuda pencuri singkong itu dihajar karena mengancam dan melempari warga yang mengejarnya adalah soal lain. Sedang peristiwa pencuriannya adalah peristiwa yang lain lagi. Peristiwa itu bisa saja merupakan potret kecil situasi saat ini. Pelakunya berusia 22 tahun. Siapapun akan mengatakannya sebagai usia produktif. Lalu, yang dicuri adalah singkong yang kalau dijual ke pasar tidak lebih dari Rp 3 ribu sekilo.
Pemuda itu bisa jadi mencuri singkong karena terpaksa. Dia mungkin dalam tekanan dan himpitan kesulitan ekonomi. Sebegitu rupa sehingga seperti kata pepatah, tak ada rotan akar pun jadi. Tak ada barang berharga yang bisa diembat, singkongpun jadi. Tetapi bisa pula pemuda itu sebagai produk situasi saat ini, situasi serba instan. Maunya serba cepat. Atau, bisa juga dia merupakan produk gejala sosial yang memberhalakan simbol-simbol gaya hidup dan gengsi sosial. Lantas untuk memenuhinya seseorang menempuh jalan pintas. Mirip seperti gejala anomi yang digambarkan teorisi sosial.
Gejala anomi sosial dijelaskan sebagai kesenjangan antara cita-cita kultural dan struktur yang tersedia untuk memenuhi cita-cita kultural itu. Cita-citanya ingin tampil dengan gaya hidup kekinian, tetapi struktur yang tersedia, misalnya lapangan kerja, tidak cukup memberikan peluang kepada mereka.
Apa yang hendak disampaikan Audiotorial Prosalina kali ini adalah, bahwa peristiwa seorang pemuda nekat mencuri singkong lalu dihajar ramai-ramai hendaknya tidak melulu dilihat sebagai peristiwa yang berdiri sendiri. Peristiwa itu bisa jadi merupakan potret kecil dari gejala yang lebih besar, yakni sempitnya kesempatan dan lapangan kerja atau bisa jadi pula merupakan potret kecil dari gejala yang lebih besar, yakni anomi sosial yang ditimbulkan orientasi berpikir hedonis, orientasi berpikir dan berilaku yang memberhalakan kesenangan dengan segenap simbolnya.
Bukan apa-apa, kalau peristiwa itu dilihat sebagai kejadian biasa, kuatirnya dia menggejala dengan eskalasi yang membuatnya meluas dengan cepat. Di sini kehadiran penentu dan pemutus kebijakan dibutuhkan. Mesti diingat, Jember pernah menjadi tuan rumah Festival Ramah HAM. Bayangkan kalau di dalam rumah yang pernah menghelat Festival Ramah HAM kemudian terjadi peristiwa main hakim sendiri. (Aga)