Dalam kehidupan sehari-hari, apalagi dalam politik, konflik adalah gejala serba hadir. Maksudnya, konflik selalu ada. Sumber konflik bermacam-macam. Tetapi jika boleh dielaborasi konflik bersumber dari perbedaan kepentingan dan kelangkaan sumber. Itu sebabnya ada yang mendefinisikan politik sebagai proses distribusi dan alokasi sumber. Distribusi dan alokasi sumber mesti diatur karena sumber yang diperbutkan terbatas. Tak sebanding dengan jumlah yang memperebutkannya. Karena konflik serba hadir, maka yang bisa dilakukan adalah mengelola konflik yang dengan mengelolanya intensitas konflik bisa ditekan, bahkan berubah menjadi produktif.
Intensitas atau kedalaman konflik sangat ditentukan oleh nilai yang menjadi sumber konflik. Jika sumber atau obyek konflik dianggap bernilai tinggi, maka konflik akan cenderung intens. Nilai atau value dimaksud tidak selalu berkaitan dan beruwujud kebendaan. Konflik ideologi misalnya, jika jarak atau polarisasi antar ideologi berada di titik ekstrim bisa dipastikan akan melahirkan konflik yang kedalamannya bisa mengarah pada konflik zero sum. Konflik yang hanya mengenal istilah kalah dan menang. Tidak ada yang namanya sama-sama menang. Kemenangan di satu pihak berarti kekalahan atau kehancuran total di pihak yang lain. Konflik yang hanya akan selesai jika salah satu pihak tersingkir. Itu sebabnya, konflik zero sum selalu dihindari, karena akibatnya memilukan.
Kita tentu tidak menginginkan perseteruan Eksekutif- Legislatif di Jember mengarah ke konflik zero sum. Konflik harus dikelola menjadi konflik yang realistis dan rasional. Konflik menjadi realistis dan rasional dengan mendefinisikan akar dan sumber konflik agar sumber persoalan tidak berkembang liar lalu makin tidak jelas juntrungnya. Konflik menjadi realistis dan rasional dengan pangakuan para pihak yang terlibat konflik terhadap lembaga penyelesai konflik dan regulasi yang mengaturnya. Hanya itu katup penyelamatnya jika ingin Jember kembali normal. (Aga)
