Mantan Ketua DPC PDI Perjuangan Jember, Tabroni, minta Bupati Faida membuktikan ucapannya seputar mahar politik. Jika tidak bisa membuktikan Tabroni minta Bupati Faida menyampaikan permintaan maaf kepada publik. Dalam penjelasannya Tabroni mengatakan, tidak menerima sepeserpun saat menjadi ketua tim pemenangan pasangan Faida-Muqit pada pilkada 2015.
Di lain pihak, Bupati Faida mengatakan, pernyataan yang disampaikan tidak dimakasudkan untuk menyinggung siapapun. Pernyataan itu menurut Faida merupakan pandangan dan idealisme pribadi. Pandangan dan idealisme yang menjadi pegangan pemimpin tegak lurus. Faida juga menyatakan tidak mempersoalkan perbedaan pendapat dalam menyikapi pernyataannya.
Hendak dikemas seperti apapun orang sepertinya akan tetap saja menangkap suasana kebatinan yang mengindikasikan suhu politik mulai memanas. Suhu politik yang menyertai pilkada tentunya. Sebab, pernyataan dan reaksi yang bermunculan sama-sama mengarah pada isu pilkada. Maka akan bergantung pada bagaimana melihat, menilai dan kemudian menyikapi dinamika politik pilkada. ketika publik melihat, menilai dan menyikapinya sebagai fenomena yang lazim mewarnai pilkada, maka tidak ada yang perlu dicemaskan.
Justru yang mesti berpikir keras adalah para pihak yang terlibat dan berkepentingan terhadap kontestasi dan pemenangan pilkada. Mereka harus berpikir keras serta cerdas dalam mengemas isu. Bersamaan dengan itu, para pihak yang berkepentingan terhadap pemenangan pilkada harus dengan penuh kesadaran selalu merujuk pada pranata dan tatakrama demokrasi. Demokrasi memang identik dengan kebebasan berpendapat. Tetapi bukan berarti demokrasi tidak mengenal pranata dan tatakrama. Pranata dan tatakrama agar kebebasan berpendapat itu tidak kebablasan. Pranata dan tatakrama agar kebebasan berpendapat tidak keluar dari pagar kepatutan dan kepantasan.
Dalam konteks pilkada pranata dan tatakrama itu mengawal agar kontestasi dan kompetisi berlangsung elagan. Jauh dari kampanye hitam. Black campaign kata orang pintar. Pranata dan tatakrama itu mengawal dan menjaga pilkada dari praktek pembunuhan karakter pribadi maupun institusi. Pranata dan tatakrama yang menuntun pada praktek pendidikan politik yang mencerahkan. Bukan menghasut, memecah belah dan mengadu domba warga masyarakat.
Akhirnya, bahwa suhu politik dalam pilkada akan memanas adalah sebuah kelaziman. Tetapi sepanjang kontestasi dan kompetisi berlangsung dalam pagar pranata dan tatakrama demokrasi tidak ada yang perlu dicemaskan. Lagi pula warga sudah semakin cerdas. Mereka sudah memetik pengalaman dari sekian kali penyelenggaraan pemilu. Mereka bisa membedakan mana isu yang mengelabui dan menggiring mereka pada logika dan realitas semu dan mana isu yang mencerminkan kejujuran. (Aga)