Pandemi Covid 19 adalah bencana kesehatan yang jika penanganannya semborono akibatnya akan makin parah. Hampir semua sektor digerogotinya. Pemerintah kemudian membijaksanainya. Bidang kesehatan dan ekonomi diprioritaskan. Penularan bisa dicegah lewat pembatasan sosial. Pembatasan sosial berimplikasi ekonomi. Perputaran roda ekonomi melambat, bahkan kontraksi. Maka skemanya adalah menyediakan bansos dan insentif lain yang bisa menahan keterpurukan warga.
Itu sebabnya, dalam hal anggaran pemerintah mebijaksanainya dengan realokasi dan refocusing anggaran. semacam disekresi, pemerintah, baik pusat maupun daerah bisa melakukan realokasi dan refocusing anggaran. Tetapi bukan karena mirip diskresi lantas pengelolaan anggaran penanganan Covid 19 boleh semau-maunya. Setiap sen anggaran penganganan Covid 19 tetap harus bisa dipertanggungjawabkan.
Jember termasuk kabupaten yang anggaran Covidnya di atas rata-rata daerah. Sebelumnya bahkan mengalahkan kota Surabaya yang problemnya lebih komplek. Jember mengalokasikan Rp 479 milyar. Kabarnya yang sudah dimanfaatkan Rp 200 milyar. Yang sudah cair sekitar Rp 110 milyar. Selebihnya, kata Sekretaris Gugas Covid 19 Jember, Satuki, pencairannya menunggu kelengkapan SPJ.
Begitu memang seharusnya. Setidaknya secara administratif bisa dipertanggungjawabkan. Tetapi, SPJ saja tentu belum cukup. Penggunaan anggaran penanganan Covid 19 mesti disupervisi. Disupervisi ketepatan sasaran dan peruntukkannya. Lebih-lebih bagi daerah yang sedang menyelenggarakan pilkada dan yang kebetulan salah satu paslonnya petahana. Tujuan supervisi tentu saja agar tidak menimbulkan prasangka miring. Supervisi juga dibutuhkan agar anggaran itu tidak ditumpangi kepentingan calon petahana.
Singkat cerita, KPK jauh-jauh hari sudah menyalakan lampu peringatan dini agar Kepala Daerah tidak main-main dengan anggaran penanganan Covid 19. Mendagri juga begitu, mengingatkan agar Kepala Daerah yang mencalonkan kembali tidak memanfaatkan bansos untuk kepentingan politik. Mendagri melarang keras penggunaan identitas pribadi Kepala daerah pejawat atau yang maju lagi dalam pilkada. Yang dibolehkan adalah mencantumkan identitas lembaga pemerintahan sebagai bagian identitas tata kelola keuangan. Hukum mungkin bisa dicari celahnya. Tetapi tidak dengan moral dan etika. Moral dan etika, kendati tidak tertulis, memberikan pedoman yang jelas. Pedoman yang bisa membedakan mana yang patut dan tidak patut serta mana yang baik dan tidak baik. (Aga)