Jember Hari Ini – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) mencatat sepanjang Januari hingga Agustus 2024, di Indonesia sudah terjadi 40 kasus kekerasan yang menimpa jurnalis baik seksual, digital, maupun fisik.
Hal ini disampaikan Ketua AJI, Nani Afrida, usai memperingati ulang tahun ke-30 AJI dengan mengangkat tema ā€¯Membangun Resiliensi Di Tengah Disrupsi Media dan Menguatnya Otoritarianismeā€¯ di Gedung Usmar Ismail, Jakarta, Jumat (09/08/2024).
Untuk Itu, dia menegaskan AJI memerlukan resiliensi dalam menghadapi dua persoalan besar sekaligus, yaitu disrupsi media dan menguatnya otoritarianisme. Resiliensi berarti kemampuan umum menyesuaikan diri dalam menghadapi tantangan besar.
Lebih lanjut, Nani mengatakan dalam aspek otoritarianisme ditandai dengan tingginya angka kekerasan terhadap jurnalis baik secara fisik, digital dan seksual. Sayangnya, semua kasus itu berakhir dengan impunitas.
Dalam aspek hukum, ada berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU), seperti RUU Kepolisian dan beberapa lainnya. Pasal karet dalam RUU ini makin membuat jurnalis sulit bekerja. Pada saat yang sama, AJI yang berada di 40 kota dan mempunyai 1800 anggota di seluruh Indonesia melihat ada fenomena disrupsi media yang menyebabkan dunia jurnalisme mengalami situasi yang berat.
Tidak hanya itu, ada penutupan media massa karena sulit bertahan, pemutusan hubungan kerja terhadap jurnalis dan sengketa antara pemilik media dan pekerja media. Untuk itu, dia berharap agar penyelesaian sengketa pers.
Nani menjelaskan, disrupsi media juga menyebabkan pelanggaran kode etik (melanggar pagar api) seperti jurnalis diminta mencari iklan, gaji jurnalis dibawah UMR. Saat dunia jurnalisme mengalami penurunan kualitas, justru AJI yang mudah digunakan untuk membuat informasi bohong dan hoaks. (Ulil)