Sepertinya sudah bisa dipastikan, pemilihan kepala daerah bakal dilakukan secara langsung oleh rakyat, menyusul disahkannya PERPPU No. 1 Tahun 2014 tentang Pilkada oleh DPR-RI. Ada yang melihat disahkannya PERPPU No. 1 Tahun 2014 sebagai kemenangan rakyat, sekaligus wujud penyelamatan demokrasi.
Demokrasi memang mensyaratkan dibukanya ruang partisipasi rakyat selebar-lebarnya. Tujuannya, untuk menghindari praktik politik oligarki politik yang ditentukan oleh hanya segelintir elit. Dalam konteks pilkada, pemilihan Bupati oleh parpol lewat DPRD dianggap berpotensi besar menimbulkan penyimpangan. Penyimpangan yang masyarakat umum menyebutnya politik transaksional. Pemilihan Bupati oleh parpol melalui DPRD juga dilihat cenderung mengabaikan aspirasi atau suara akar rumput. Sebab, penentu bakal calon yang hendak diusung partai adalah pengurus partai politik.
Tetapi ada pula yang melihat pilkada langsung berbiaya besar. Karena biaya politiknya tinggi, maka pilkada langsung juga dianggap berpotensi melahirkan penyimpangan. Pemenangnya akan korup ketika menjadi pemimpin daerah.
Begitulah, pemilihan kepala daerah secara langsung atau tidak langsung sama-sama berpotensi melahirkan penyimpangan. Tetapi, sebagian besar, kalau tidak semua orang, tentu memilih pemilihan kepala daerah secara langsung. Sebab, pemilihan kepala daerah secara langsung memberikan ruang dan peluang lebih besar kepada rakyat sebagai pemilik kedaulatan.
Karena itu, pekerjaan berikutnya adalah menekan agar potensi penyimpangan bawaan pemilihan kepada daerah secara langsung tidak aktual. Dan jalan yang bisa ditempuh antara lain adalah memperketat penjaringan bakal calon kepala daerah melalui taruh misalnya uji publik yang transparan, melibatkan publik luas dengan rentang waktu yang memadai.
Selain itu, siapa saja yang merasa berkepentingan melahirkan pemimpin daerah yang berkualitas mesti terus menerus membangun kesadaran publik tentang pentingnya sosok pemimpin yang elijibel, patut dan pantas karena calon bersangkutan memiliki integritas yang cukup tinggi. Pada saat yang sama masyarakat juga perlu didorong untuk bersikap kritis terhadap parpol. Sebab, mau pemilihannya langsung atau tidak langsung, tetap saja pengusung bakal calon kepala daerah adalah partai politik. Syukur kalau sikap kritis publik itu tumbuh bersamaan dengan kesadaran untuk mengawal mekanisme di internal parpol dalam menentukan bakal calon yang hendak diusung.
Bukan apa-apa, semua itu adalah ikhtiar agar pemilihan kepala daerah secara langsung yang dianggap sebagai wujud demokrasi tidak terkotori dan ternodai oleh praktik politik dagang sapi, serangan fajar, atau yang masyarakat umum menyebutnya praktik politik NPWP, Nomer Piro Wani Piro……?????
(Aga)