Seperti biasa, memasuki masa reses, anggota DPR-RI maupun DPRD Provinsi mengunjungi Dapil masing-masing. Juga seperti biasa, di Dapil masing-masing, anggota DPR-RI dan anggota DPRD Provinsi itu menyerap aspirasi, menyampaikan informasi tentang apa saja yang sudah, sedang, dan akan dilakukan parlemen, atau sekurang-kurangnya menjaga dan memelihara ikatan emosional dengan konstituen. Sebab, bukan tidak mungkin para wakil rakyat ini lima tahun ke depan nyaleg lagi.
Beberapa informasi penting yang disampaikan anggota DPR-RI dan anggota DPRD Provinsi yang pulang kampung ke Dapil Jember-Lumajang antara lain, Raperda Perlindungan Petani dan Raperda Pendampingan Hukum bagi warga miskin. Ada pula yang menyatakan dukungannya terhadap keinginan masyarakat Jember yang sedang mengusulkan Letkol Moch. Sroedji sebagai pahlawan nasional. Dan yang lumayan menarik, ada anggota DPR-RI yang mensosialisasikan Empat Pilar Kebangsaan.
Empat Pilar Kebangsaan itu meliputi Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Bisa jadi, anggota DPR-RI ini gamang, cemas, dan khawatir, wawasan kebangsaan di negeri ini tergerus. Sedemikian rupa sehingga dinamika politik lebih mengarah pada perebutan kekuasaan ketimbang mewujudkan nilai dan ide yang terkandung dalam Pancasila dan Undang-Undang dasar 1945.
Anggota DPR-RI ini kira-kira mulai khawatir kecenderungan politik yang mengarah pada perebutan kekuasaan mereduksi tujuan yang termaktub dalam pembukaan UUD 1945, menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa.
Begitulah, belakangan negeri ini memang sedang memanggungkan lakon tentang politik yang lebih berorientasi pada pencapaian kekuasaan. Tengok saja konflik yang membawa perpecahan parpol, hiruk pikuk KPK versus polisi yang bahkan menyeret eksekutif dan legislatif dalam permainan politik.
Sementara rakyat di hadapkan pada kenaikan harga beras yang nyaris tak terkendali, kenaikan harga elpiji, serta kenaikan harga kebutuhan pokok dan transportasi. Rakyat juga diminta membiasakan diri terhadap fluktuasi harga BBM.
Begitulah, rakyat sepertinya, kalau bukan sekadar sebagai penonton, mereka lebih sering sebagai penerima dampak perilaku dan kebijakan elit. Maka pertanyaannya adalah, siapakah yang lebih pantas memahami, yang oleh karena itu juga lebih patut menjadi sasaran sosialisasi “Empat Pilar Kebangsaan”?
(Aga)